Zakat Produktif Terhadap Pemberdayaan Ekonomi Mustahik

 Zakat Produktif Terhadap Pemberdayaan Ekonomi Mustahik

 Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang keempat, dan memiliki akar yang kuat dalam ajaran agama Islam sebagai sarana untuk membersihkan harta serta membantu mereka yang membutuhkan. Kata "zakat" berasal dari bahasa Arab yang berarti membersihkan atau menyucikan. Dalam konteks harta, zakat dapat dipahami sebagai cara untuk membersihkan kekayaan seseorang dan menyucikannya dari sifat kikir dan cinta berlebihan terhadap harta benda. Zakat memiliki landasan yang sangat kuat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Banyak ayat dalam Al-Qur'an yang mewajibkan umat Islam untuk mengeluarkan harta zakat. Salah satunya adalah firman Allah SWT dalam Surah At-Taubah ayat 103 berbunyi:

 

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٲلِهِمۡ صَدَقَةً۬ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيہِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ۬ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

 

Artinya:

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah: 103)

 

Ayat ini menjelaskan perintah Allah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengambil zakat dari harta kaum Muslimin yang mampu, agar zakat tersebut dapat menyucikan harta dan jiwa mereka. Selain itu, ayat ini menekankan bahwa doa yang dipanjatkan untuk mereka yang berzakat membawa ketenangan dan ketenteraman, menunjukkan betapa pentingnya zakat dalam Islam, tidak hanya dari segi materi, tetapi juga secara spiritual. Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga menekankan pentingnya zakat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan kontribusi terhadap kesejahteraan umat.

Kewajiban ini merupakan perintah langsung yang mengikat setiap Muslim yang memiliki harta mencapai nishab (batas minimal harta yang wajib dizakatkan).

Terdapat sebuah hadis yang sangat terkenal tentang zakat dan penekanannya oleh Rasulullah SAW adalah sebagai berikut:

Hadis tentang Zakat (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

مَاتَىٰ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ الْبَيْتِ.

Artinya: Islam dibangun di atas lima pilar: Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadan, dan pergi haji bagi yang mampu. (HR. Bukhari dan Muslim) Tafsir Hadis: 1. Zakat sebagai Pilar Utama Islam: Hadis ini menunjukkan bahwa zakat merupakan salah satu dari lima pilar utama dalam agama Islam, yang mendefinisikan keimanan seorang Muslim. Menunaikan zakat setara pentingnya dengan mendirikan salat, berpuasa, dan menunaikan haji. Hal ini menegaskan bahwa zakat bukan sekadar anjuran, melainkan kewajiban agama yang harus dipenuhi oleh setiap Muslim yang memiliki kemampuan finansial. 2. Kewajiban yang Menyucikan Harta dan Jiwa: Dalam ajaran Islam, zakat dianggap sebagai cara untuk membersihkan harta dan mensucikan jiwa dari sifat kikir dan cinta dunia yang berlebihan. Zakat melatih individu Muslim untuk bersikap dermawan dan peduli terhadap sesama, serta mengingatkan bahwa kekayaan yang dimiliki adalah amanah dari Allah yang harus digunakan untuk kebaikan bersama. 3. Instrumen untuk Membantu Orang Miskin: Hadis ini juga menegaskan bahwa zakat adalah sarana untuk membantu mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat, terutama kaum fakir dan miskin. Dengan demikian, zakat berfungsi untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi, serta membangun solidaritas di antara umat Muslim. 4. Hubungan Zakat dengan Ibadah Lain: Dalam Islam, zakat berhubungan erat dengan ibadah lain seperti salat dan puasa. Kewajiban ini saling melengkapi, di mana salat mendidik ketundukan kepada Allah, dan zakat mendidik kepekaan sosial. Kombinasi antara ibadah ritual dan sosial dalam Islam menciptakan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah (habl min Allah) dan hubungan manusia dengan sesama manusia (habl min al-nas). 5. Zakat Sebagai Bukti Keimanan: Menunaikan zakat bukan hanya sebagai tanda ketaatan terhadap perintah Allah, tetapi juga bukti nyata dari iman seseorang. Seseorang yang tidak menunaikan zakat padahal mampu, dianggap lalai terhadap kewajibannya sebagai Muslim. Sebaliknya, orang yang menunaikan zakat menunjukkan bahwa ia memahami prinsip keadilan sosial yang diajarkan Islam.

  Tujuan zakat secara esensial adalah pemberdayaan ekonomi bagi penerimanya (mustahiq). Zakat dapat digunakan untuk membantu mereka memulai usaha kecil atau memenuhi kebutuhan pokok agar dapat keluar dari kemiskinan secara mandiri. Ini menjadikan zakat sebagai alat pemberdayaan, bukan sekadar bantuan karitatif. Dalam Sejarah, zakat merupakan alat pemberdayaan ekonomi mustahik sudah berjalan pada masa Rasulullah SAW, Pada masa Rasulullah SAW, zakat pertama kali diwajibkan pada tahun kedua Hijriyah. Zakat pada masa ini dikumpulkan dan didistribusikan secara langsung oleh Rasulullah kepada orang-orang yang membutuhkan. Zakat berfungsi sebagai instrumen utama untuk menjaga kesejahteraan sosial dan ekonomi umat Muslim, dengan prioritas diberikan kepada fakir miskin, janda, anak yatim, dan kelompok yang membutuhkan lainnya. Rasulullah SAW juga membentuk amil zakat, yaitu petugas yang bertugas mengumpulkan zakat dari masyarakat, terutama dari pemilik harta dan ternak yang wajib zakat. Zakat kemudian didistribusikan kepada delapan golongan (asnaf) yang berhak menerima, seperti fakir, miskin, amil zakat, mualaf, budak, orang yang berutang, orang yang berjuang di jalan Allah (fisabilillah), dan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal).

Pada periode Abu Bakar, zakat memainkan peran krusial dalam menjaga kestabilan negara. Ketika beberapa suku Arab menolak membayar zakat setelah wafatnya Rasulullah, Khalifah Abu Bakar berkeras untuk menegakkan kewajiban zakat. Beliau menyatakan bahwa zakat adalah bagian yang tak terpisahkan dari Islam dan sama pentingnya dengan shalat. Peristiwa ini dikenal sebagai Perang Riddah, di mana Abu Bakar memerangi suku-suku yang menolak untuk tidak membayar zakat. Kebijakan Abu Bakar menunjukkan bahwa zakat bukan sekadar kewajiban spiritual, tetapi juga instrumen keuangan yang penting dalam menjaga keberlanjutan negara dan masyarakat. Kemudian pada Masa Kekhalifahan Umar bin Khattab, sistem zakat menjadi lebih terstruktur dan efisien. Khalifah Umar memperluas cakupan distribusi zakat dan memastikan bahwa zakat digunakan untuk kemakmuran umum. Salah satu inovasi Umar adalah mendirikan lembaga khusus yang bertanggung jawab dalam pengelolaan zakat, dengan sistem pengarsipan yang lebih baik dan pelacakan terhadap siapa yang telah membayar dan menerima zakat. Umar juga memastikan bahwa zakat tidak hanya diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk barang-barang kebutuhan dasar seperti makanan dan pakaian. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa penerima zakat benar-benar mendapat manfaat yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Pada masa Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, pengelolaan zakat tetap berjalan, meskipun terdapat tantangan politik. Zakat tetap dianggap sebagai kewajiban penting yang menopang ekonomi masyarakat dan negara Islam. Pada masa kekhalifahan Abbasiyah dan Utsmaniyah, zakat menjadi bagian dari sistem keuangan negara yang lebih formal. Pada masa itu, zakat dikumpulkan oleh lembaga negara yang bertanggung jawab, dan pendistribusiannya diatur secara administratif. Ini menunjukkan bahwa zakat selalu menjadi bagian integral dari kebijakan ekonomi Islam, bahkan dalam pemerintahan yang lebih kompleks dan terorganisir.

Zakat terbagi menjadi dua jenis dalam hal penggunaannya: zakat konsumtif dan zakat produktif. Keduanya memiliki fungsi yang penting dalam memberikan manfaat kepada para penerima (mustahiq), namun penerapannya berbeda dalam konteks distribusi dan tujuan akhir.

Zakat konsumtif adalah zakat yang diberikan dalam bentuk langsung kepada mustahiq untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Pemberian zakat ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek.

Tujuan Zakat Konsumtif:

Pemenuhan kebutuhan darurat: Zakat konsumtif biasanya diberikan kepada mereka yang membutuhkan bantuan segera untuk bertahan hidup, seperti fakir miskin yang kekurangan sandang dan pangan. Mengatasi kemiskinan jangka pendek: Fokusnya adalah pada memberikan bantuan langsung yang dapat dipakai segera, tanpa mengharapkan penerima untuk memproduksi atau mengembangkan harta tersebut.

Contoh Penggunaan Zakat Konsumtif:

Membeli makanan untuk keluarga miskin.

Memberikan pakaian, obat-obatan, atau perlengkapan sekolah bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu.

Dalil dan Dasar dari Kitab Klasik:

Dalam kitab Al-Mughni oleh Ibn Qudamah, seorang ulama Hanbali, beliau menyebutkan mengenai zakat yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan dasar mustahiq:

قال ابن قدامة: وَيَجُوزُ دَفْعُ الزَّكَاةِ لِمَنْ يُؤَمِّنُ بِيَدِهِمْ حَاجَةَ يَوْمِهِمْ وَاللَّيْلَةِ.

"Ibn Qudamah berkata: Dibolehkan memberikan zakat kepada mereka yang dengan itu dapat memenuhi kebutuhan mereka untuk hari ini dan malam ini."
(Al-Mughni, Juz 3, Hal. 54)

Dari sini dapat dipahami bahwa zakat konsumtif ditujukan untuk membantu kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi oleh mustahiq.

Zakat Produktif

Zakat produktif adalah zakat yang diberikan dengan tujuan untuk memberdayakan mustahiq sehingga mereka dapat mandiri secara ekonomi. Zakat ini biasanya diberikan dalam bentuk modal usaha, alat kerja, atau sumber daya lainnya yang memungkinkan mustahiq untuk mengembangkan usaha atau meningkatkan kapasitas ekonominya. Tujuan dari zakat produktif adalah untuk mengangkat mustahiq dari kondisi kemiskinan dalam jangka panjang.

Tujuan Zakat Produktif: Pemberdayaan ekonomi mustahiq: Zakat produktif tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan mendesak, tetapi juga untuk membantu penerima zakat agar mandiri secara ekonomi di masa depan. Mengatasi kemiskinan struktural: Dengan memberikan modal atau sumber daya produktif, zakat ini bertujuan agar mustahiq dapat bekerja dan menghasilkan pendapatan, sehingga tidak lagi bergantung pada bantuan zakat di masa yang akan datang.

Contoh Penggunaan Zakat Produktif: Memberikan modal usaha kecil kepada fakir miskin untuk memulai usaha, seperti berjualan atau bertani. Menyediakan alat kerja seperti mesin jahit, bibit tanaman, atau ternak untuk pengembangan usaha mikro. Dalam kitab Bidayat al-Mujtahid oleh Ibn Rushd, salah satu karya besar dalam fikih perbandingan, beliau menjelaskan tentang pentingnya menggunakan zakat untuk tujuan produktif, terutama bagi mereka yang mampu bekerja namun tidak memiliki sumber daya:

قال ابن رشد: وأما الزكاة فالواجب فيها أن يتناولها المحتاج ممن لا يجد مالًا، ولا قدرة له على الكسب، وأن يُعانَ بها من له قدرة على الكسب ليبدأ عملاً ما يمكنه من الاستغناء عن المساعدة.

"Ibn Rushd berkata: Adapun zakat, maka kewajibannya adalah agar zakat diberikan kepada yang membutuhkan, baik yang tidak memiliki harta maupun yang tidak mampu bekerja. Dan juga untuk membantu mereka yang memiliki kemampuan untuk bekerja agar mereka memulai usaha yang bisa membuat mereka mandiri dari bantuan."
(Bidayat al-Mujtahid, Juz 1, Hal. 274)

Dalam hal ini, Ibn Rushd menegaskan pentingnya pemberdayaan bagi mereka yang memiliki kemampuan untuk bekerja, sehingga zakat dapat menjadi modal yang mengangkat mustahiq dari ketergantungan.

            Zakat produktif di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, seiring dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan zakat yang lebih efektif dan berorientasi pada pemberdayaan. Berikut adalah gambaran perjalanan dan statistik zakat produktif di Indonesia:

Perjalanan Zakat Produktif di Indonesia, Awal Pengembangan (Tahun 1990-an): Zakat di Indonesia pada awalnya lebih berfokus pada zakat konsumtif. Namun, pada tahun 1990-an, muncul kesadaran akan pentingnya pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui zakat. Lembaga-lembaga amil zakat mulai merumuskan program-program yang tidak hanya memberikan bantuan langsung tetapi juga membantu mustahiq untuk mandiri secara ekonomi. Pembentukan Lembaga Resmi (Tahun 2001): Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, muncul badan resmi yang mengelola zakat, seperti Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan berbagai Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang diakui oleh pemerintah. Ini memberikan dasar hukum dan struktur untuk pengelolaan zakat secara lebih profesional. Program Pemberdayaan (Tahun 2000-an): Sejak awal 2000-an, lembaga-lembaga amil zakat mulai aktif dalam mengembangkan program zakat produktif. Beberapa lembaga, seperti Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, dan Yayasan Baitul Mal (YBM), meluncurkan program pemberdayaan yang memberikan modal usaha, pelatihan keterampilan, dan dukungan lainnya untuk mustahiq. Digitalisasi Pengelolaan Zakat (Tahun 2010-an): Masuknya teknologi informasi dan digitalisasi telah merubah cara pengelolaan zakat. Lembaga zakat mulai memanfaatkan platform online untuk pengumpulan dan distribusi zakat, serta untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas. Kesadaran Masyarakat dan Dukungan Pemerintah: Selama dekade terakhir, kesadaran masyarakat akan pentingnya zakat produktif meningkat. Pemerintah juga memberikan dukungan melalui berbagai kebijakan yang mendorong pembayaran zakat, seperti insentif pajak bagi muzakki. Total Pengumpulan Zakat: Menurut data BAZNAS dan LAZ, total pengumpulan zakat di Indonesia pada tahun 2023 mencapai sekitar Rp 12,5 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar 30-40% dialokasikan untuk zakat produktif. Jumlah Mustahiq yang Dibantu: Lembaga-lembaga zakat mencatat bahwa lebih dari 2 juta mustahiq telah mendapat manfaat dari program zakat produktif di seluruh Indonesia, yang mencakup modal usaha, pelatihan, dan pendampingan. Sektor Pemberdayaan: Berdasarkan data dari lembaga amil zakat, sektor-sektor yang paling banyak mendapatkan dana zakat produktif meliputi:

o    Usaha Mikro dan Kecil: Sekitar 65% dari total penerima zakat produktif.

o    Pertanian dan Peternakan: Sekitar 25% dari total penerima zakat produktif.

o    Pendidikan dan Pelatihan: Sekitar 10% yang menerima bantuan untuk pendidikan dan keterampilan.

Persentase Keberhasilan Program: Laporan dari beberapa lembaga menunjukkan bahwa lebih dari 70% mustahiq yang menerima zakat produktif berhasil meningkatkan pendapatan mereka setelah mendapatkan bantuan modal usaha dan pelatihan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Etika dan Adab Muzakki Taktala Hendak Membayar Zakat

Biografi Singkat Tgk. H. Mahyuddin Ali: Ulama, Pendidik, dan Pejuang

Mengapa Riba Dilarang ?